Temuan Subtipe Grup M, Harapan Baru Pengobatan Penyakit HIV

Jum'at, 08 November 2019 - 05:40 WIB
Temuan Subtipe Grup...
Temuan Subtipe Grup M, Harapan Baru Pengobatan Penyakit HIV
A A A
COLUMBIA - Pengobatan penyakit human immunodeficiency virus (HIV) mulai menemukan titik terang. Baru-baru ini, sekelompok ilmuwan asal Amerika Serikat (AS) berhasil mendeteksi subtipe baru HIV untuk pertama kalinya dalam 19 tahun. Subtipe itu merupakan bagian dari Group M versi HIV-1 atau masih satu keluarga dengan subtipe virus yang pernah mewabah di dunia pada 1997.

Temuan itu diungkap Abbott Laboratories yang melakukan kerja sama penelitian bersama Universitas Missouri. Mereka menulis dan mempublikasikannya dalam jurnal ilmiah di situs Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes (JAIDS) journals.lww.com. Subtipe baru itu sebelumnya tidak pernah terdeteksi.

Seperti virus lainnya, HIV terdiri dari beberapa subtipe. HIV juga mampu beradaptasi dan bermutasi sesuai dengan kondisi. Para ilmuwan mulai mengklasifikasikan subtipe HIV pada 2000 guna mempermudah uji coba vaksinasi. Namun, sejauh ini, diagnosa subtipe HIV masih menjadi pekerjaan menantang. “Pekerjaan itu sangat tidak mudah,” ujar Mary Rodger, ilmuwan senior dari Abbott, dikutip CNN. “Kami telah melakukan uji coba terhadap lebih dari 60% pasokan darah global. Kami berupaya mencari subtipe baru dan melacaknya hingga sirkulasi sehingga kami mendeteksinya secara akurat, di mana pun itu,” tambahnya.

Direktur Institut Nasional untuk Penyakit Infeksi dan Alergi, Dr. Anthony Fauci, juga memuji hasil kerja Abbott dan Universitas Missouri ini. Mreka menilai pekerjaan menemukan subtipe ini tidak mudah. Proses identifikasi subtipe baru memperlukan peta lengkap evolusi HIV. Dia juga berharap ke depannya pengobatan HIV dapat bekerja efektif.

“Saat ini, pengobatan terhadap HIV baru dapat dilakukan terhadap subtipe tertentu. Kita perlu meneliti lebih jauh,” ujar Fauci. “Tapi, kita tidak perlu panik atau cemas sedikit pun tanpa alasan yang jelas. Terlebih lagi, tidak banyak orang yang terinfeksi HIV subtipe baru ini. Ini berada di luar kebiasaan,” tambahnya.

Ilmuwan tidak dapat menentukan subtipe baru HIV tanpa menyertakan sedikitnya tiga kasus berbeda. Subtipe baru ini juga dideteksi dalam tiga waktu yang berjauhan, yakni pada 1983, 1990, dan 2019. Sampel ketiga diambil dari Kongo pada 2001. Saat itu, subtipenya tidak diketahui karena terbatasnya teknologi.

“Dua subtipe dari sampel pertama dan kedua tidak biasa dan berbeda dengan subtipe lainnya,” kata Rodger. “Sample ketiga merupakan bagian penelitian untuk mencegah transmisi virus dari ibu terhadap anak. Sampelnya kecil, tapi mirip dengan dua sampel sebelumnya sehingga kami melakukan penelitian penuh,” terangnya.

Abbott dan Universitas Missouri mengembangkan teknik baru untuk mempelajari dan memetakan sampel ketiga. Menurut Rodgers, tingkat kesulitannya ibarat mencari jarum jam di antara tumpukan jerami. Namun, mereka berhasil menemukan dan mengangkatnya dengan menggunakan teknologi baru “magnet”.

Ilmuwan Abbott dan Universitas Missouri berhasil menguraikannya secara penuh. Artinya, mereka mampu melihatnya lebih jelas dan menentukan subtipenya. Pengobatan saat ini diyakini akan mampu melawan subtipe baru itu. Namun, tidak diketahui bagaimana variasi virus itu memengaruhi kondisi pasien.

“Penemuan ini mengingatkan kita bahwa untuk mengakhiri wabah HIV, kita harus terus berupaya mengejar dan mengalahkan virus yang mampu berubah itu dan menggunakan teknologi terbaru untuk mengawasinya secara intensif,” kata Profesor Ilmu Kraniofasial dan Oral Universitas Missouri, Dr. Carole McArthur.

Berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pasien HIV diestimasikan mencapai sekitar 37,9 juta orang secara global pada 2018. Infeksi HIV biasanya didiagnosa melalui rapid diagnostic test (RDT) dengan mendeteksi kehadiran atau absensi antibodi. Hasilnya dapat diketahui saat itu juga dan dapat langsung ditangani.

“Populasi utama meliputi laki-laki yang bersetubuh dengan laki-laki, orang yang menyuntikkan narkoba, narapidana, pekerja seks dan kliennya, dan orang transgender. Mereka terhitung menyumbangkan sekitar 95% untuk pasien HIV, baik dari Eropa, Asia, dan Afrika. Mereka berisiko terjangkit HIV,” ungkap WHO.

Sejauh ini, HIV menewaskan 32 juta orang. Dengan perkembangan dunia medis, kondisi kronis akibat infeksi HIV menjadi lebih bisa ditangani, meski 100% tidak dapat disembuhkan secara total. Pada tahun lalu, sekitar 62% pasien HIV dewasa dan 54% pasien anak-anak menjalani antiretroviral therapy (ART).

“Tidak ada obat untuk menyembuhkan HIV. Namun, antiretroviral drug (ARV) dapat mengendalikan virus dan membantu mencegah penularan terhadap orang lain,” ungkap WHO. “Sekitar 79% pasien HIV sadar terkena penyakit itu. Hampir seluruh pasien baru HIV merupakan orang populasi ‘utama’,” tambah WHO. (Muh Shamil)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0685 seconds (0.1#10.140)